Senin, 19 Januari 2015

AWAS ADA SYI'AH DI SEKITAR ANDA

Catat Baik-Baik, Ini 77 Daftar Yayasan Syiah Di Seluruh Nusantara

TAKENGON (dayahaswajaku.blogspot.com) - Sesungguhnya Agama Sesat Syiah-Hadahumullah- tidak henti-hentinya mengincar mangsa di negeri kita. Melalui berbagai cara mereka berusaha mendekatkan diri mereka kepada kaum muslimin untuk dengan misi penyebaran agama Sesat Syiah di Indonesia.

Salah satunya dengan mendirikan berbagai yayasan keislaman untuk melancarkan makar Iblis mereka. Maka, berhati-hatilah wahai kaum muslimin terhadap yayasan-yayasan Syiah yang akan mengancam aqidah kita dan keturunan kita…

Berikut ini kami bawakan daftar nama dan alamat yayasan Syiah di Indonesia (Semoga Allah memberi hidayah Sunnah kepada orang-orang Syiah).

Maksud kami menampilkan daftar yayasan Syiah disini dengan tujuan agar kaum muslimin dapat berhati-hati terhadap makar dan propaganda sesat Syiah.

Salah satu pusat penyebaran Syiah di Indonesia adalah kota Bandung bersama yayasan Muthohari dengan dedengkotnya seorang Syiah Rafidhah DR. Jalaluddin Rahmat (biasa dipanggil dengan Kang Jalal – salah seorang dosen universitas ternama di kota Bandung). Semoga Allah segera membuka kedok orang ini yang sesungguhnya!!!

Maka, berhati-hatilah wahai Umat Islam dari makar Syiah ini

DAFTAR 77 YAYASAN SYIAH DI NUSANTARA

1) Yayasan Fatimah - JL. Batu Ampar III No.14 Condet Jakarta Timur, 13520

2) Tazkia Sejati Patra Kuningan IX No.6 Kuningan Jakarta Selatan

3) Yayasan Al Mahdi Jakarta Utara

4) Yayasan Al Muntazar Komp Taman Kota Blok E7/43 Kembangan Utara, Jakarta Barat

5) Yayasan Madina Ilmu Sawangan, Parung, Depok

6) Shaf Muslimin Indonesia Cawang - IPABI Bogor Yayasan Insan Cita Prakarsa Jl Lontar 4 No.9 Menteng Atas Jaksel

7) Islamic Center Jakarta Al Huda Jl Tebet Barat II No 8, Tebet, Jaksel, Indonesia 12810

8) Yayasan Asshodiq Jl Penggilingan No 16 A, RT01/07 Jakarta Timur

9) Pengajian Ummu Abiha (HJ Andriyanti) Jl Pondok Hijau VI No.26 Pondok Indah Jakarta Selatan 12310

10) Pengajian Al Bathul (Farida Assegaf) Jl Clilitan Kecil, Jaksel

11) Yayasan Babul Ilmi Jl Taman Karmila, Blok F3/15 Jatiwaringin Asri, Pondok Gede

12) Pengajian Haurah Jl Kampus I Sawangan Depok

13) MPII Jl Condet Raya 14 condet Jaktim 13520

14) FAHMI (Forum Alumni HMI) Depok Jl. Fatimah 323 Depok

15) Yayasan Azzahra Jl. Dewi Sartika Gg.Hj.M.Zen No 17, RT.007/05, Cawang 3, Jakarta Timur

16) Yayasan Al Jawad Gegerkalong Girang, No 92 Bandung 40015

17) Yayasan Muttahhari Jl Kampus II No 32 Kebaktian Kiaracondong 40282

18) Majlis Taklim Al Idrus Rt 04/01 Cipaisan, Purwakarta

19) Yayasan Fatimah Jl Kartini Raya No 11/13, Cirebon 45123

20) Yayasan Al Kadzim

21) Yayasan Al Baro’ah Gg Lenggang IV-66 Blok H, Bumi Resik Panglayungan, Tasikmalaya 46134 Jabar

22) Yayasan 10 Muharrom JL Chincona 7 Pangalengan Bandung

23) Majlis Ta’lim Annur Jl Otista No 21 Tangerang Jabar

24) Yayasan As Shodiq Jl Plesiran 44 Bandung 40132

25) IPABI PO BOX 509 Bogor Jabar

26) Yayasan As Salam Jl Raya Maja Utama 25 Majalengka Jabar

27) Yayasan Al Mukarromah Jl Cimuncang No 79 Bandung Jabar Jl Kebun Gedang 80 Bandung 40274 Jabar

28) T Al Jawad Jl Raya Timur No 321 Singaparna Tasikmalaya Jabar

29) Yayasan al Mujtaba Jl Walangi No 82 Kaum Purwakarta Jabar

30) Yayasan Saifik Jl Setiabudi Blok 110 No 11A/166 D Bandung, Jawa Barat

31) Yayasan Al Ishlah DRS Ahmad M.Ag - Jl Pasar Kramat No 242 Ps Minggu Cirebon, Jabar

32) Yayasan Al-Aqilah Jl. Eksekusi EV No. 8 Komp. Pengayoman, Tangerang 15118, Banten – Indonesia

33) Yayasan Dar Taqrib Jl KH Yasin 31A PO BOX 218 Jepara Jawa Tengah

34) Al Hadi Pekalongan 51123 , PO BOX 88

35) Yayasan Al Amin Giri Mukti Timur II/1003/20, Semarang Jawa Tengah

36) Yayasan Al Khoirat Jl Pramuka 45, RT 05/06 Bangsri Jepara

37) Demak Jateng Desa Prampelan, Rt 02/04 No 50 Kec Sayung, Jateng

38) Yayasan Al Wahdah Metrodanan, 1/1 no 81 Ps Kliwon, Solo Jateng

39) Yayasan Rausan Fikr (Safwan) Jl Kaliurang Km 6, Gg Pandega Reksa No 1B Yogyakarta

40) Yayasan Al Mawaddah Jl Baru I Panaruban, Rt 02/03 Weleri, Kendal Jateng

41) Yayasan Al Mujtaba (BP Arman) Jl Pasar I/59, Wonosobo Jateng

42) Yayasan Safinatunnajah Jl Pahlawan, Wiropati 261, Desa Pancur wening Wonosobo Jateng

43) Yayasan Al Mahdi Jl. Jambu No.10, Balung, Jember Jawa Timur 68161

44) Majlis T’lim Al Alawi Jl Cokroaminoto III/254, Probolinggo Jawa Timur

45) Yayasan Al Muhibbiin Jl. Kh Hasan No.8, Probolinggo, Jawa Timur

46) Yayasan Attaqi Kedai Hijau, Jl. RA Kartini No.7 Pandaan Pasuruan Jatim

47) Yayasan Azzhra Sidomulyo II No 38, Bululawang Malang Jawa Timur

48) Yayasan Ja’far Asshodiq Jl KH Asy’ari II/1003/20 Bondowoso Jawa Timur 68217

49) Yayasan Al Yasin Jl. Wonokusumo Kulon GG 1/No.2 Surabaya

50) Yayasan Itrah PO BOX 2112, Jember Jawa Timur

51) Yapisma Jl. Pulusari I/30, Blimbing, Malang Jawa Timur

52) Yayasan Al Hujjah Jalan Sriwijaya XXX/5 Jember Jawa Timur

53) Yayasan Al Kautsar Jl.Arif Margono 23 A, Malang Jawa Timur

54) YAPI Jl Pandaan Bangil, Kenep Beji, Pasuruan Jatim

55) Yayasan AL Hasyim Jl Menur III/25A Surabaya

56) Yayasan Al Qoim Jl Sermah Abdurrahman No 43, Probolinggo Jawa Timur

57) FAJAR - Al-Iffah Jl. Trunojoyo IX / 17 Jember

58) Yayasan BabIlm Jl. KH. Wahid Hasyim 55 Jember 68137. Jawa – Timur Telpon : 0331-483147 PO. BOX : 232

59) Yayasan al-Kisa’ Jl. Taeuku Umar Gg. Sesapi No. 1 Denpasar Bali

60) Al-Hasyimi Toko al-Kaf Nawir Jl. Selaparang 86 Cakranegara Lombok

61) Yayasan Al Islah Kopm Panakkukang Mas II Bloc C1/1 Makasar 90324

62) Yayasan Paradigma Jl Sultan Alaudin no 4/lr 6 - Yayasan Fikratul Hikmah Jl Sukaria I No 4 Makasar 90222

63) Yayasan Sadra Makasar - Yayasan Pinisi JL Pontiku, Makassar, Sulsel

64) Yayasan LSII JL Veteran Selatan, Lorong 40 No 60 Makasar

65) Yayasan Lentera Jl. Inspeksi Pam No. 15 Makassar

66) Yayasan Nurtsaqolain Jl Jendral Sudirman No 36A Palopo Sulsel Belakang Hotel Buana

67) Yas Shibtain Jl Rumah Sakit no 7 Tanjung Pinang Kep Riau

68) Yayasan Al Hakim Pusat Perbelanjaan Prinsewu, Bolk B Lt2, Lampung Selatan 35373

69) Yayasan Pintu Ilmu Jl Kenten Permai, Ruko Kentan Permai No.7 Palembang 30114

70) Yayasan Al Bayan Jl Dr. M. Isa 132/795 Rt 22/8 Ilir Palembang

71) Yayasan Ulul Albab Jl Air Bersih 24 D Kutabelang Loksumawe Aceh

72) Yayasan Amali Jl. Rajawali. Komp. Rajawali I No. 7 Medan 20122 - Kumail Jl. Punai 2 No. 26 Kuto Batu Palembang

73) Yayasan Al Muntadzar Jl Al Kahoi II no 80, Samarinda Kalimantan Timur

74) Yayasan Arridho Jl A Yani KM 6-7 No 59 Banjarmasin Kalimantan Selatan

75) Us Ali Ridho Alatas Jl. Sungai Ampal No.10 Rt43/15 Sumberjo, Balikpapan, Kalimantan Timur

76) Madrasah Nurul Iman Selat Segawin, remu Selatan No 2 Sorong Irian Jaya.

77) ICC( Islamic Culture Center ) Jl. Buncit Raya, samping Gedung Republika dan Mall Pejaten Village, Jakarta Selatan.

Demikian lah, sedikit catatan kecil yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah selalu melindungi kita dari kesesatan.. Amiin

Kamis, 08 Januari 2015

DEFiNISI SHOLAT MENURUT ISTILAH DAN BAHASA

Fathul Mu'in (Bab Shalat)

باب الصلاة  هي شرعا أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم وسميت بذلك لاشتمالها على الصلاة لغة وهي الدعاء  والمفروضات العينية خمس في كل يوم وليلة معلومة من الدين بالضرورة فيكفر جاحدها ولم تجتمع هذه الخمس لغير نبينا محمد صلى الله عليه وسلم وفرضت ليلة الإسراء بعد النبوة بعشر سنين وثلاثة أشهر ليلة سبع وعشرين من رجب ولم تجب صبح يوم تلك الليلة لعدم العلم بكيفيتها

BAB SHALAT

Shalat dalam definisi Syara' adalah : Segala perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam. Dinamakan Shalat dengan demikian (lafadh Shalat) karena di dalam terdapat Shalat dalam pengertian bahasa. Shalat menurut bahasa adalah Doa.

Shalat yang difardhukan untuk setiap muslim sehari semalam lima waktu. Kewajiban ini diketahui secara dharuri (mudah/setiap orang) dalam agama Islam, karena itu orang yang mengingkarinya dihukumkan dengan kafir. Shalat lima waktu ini tidak berhimpun bagi selain Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Shalat difardhukan pada malam Isra' dua puluh rajab, dua puluh tahun tiga bulan setelah pengangkatan Rasulullah. Shalat subuh pada hari Isra' tidak diwajibkan karena belum ada ilmu dengan tata cara pelaksanaannya.

( إنما تجب المكتوبة ) أي الصلوات الخمس ( على ) كل ( مسلم مكلف ) أي بالغ عاقل ذكر أو غيره ( طاهر ) فلا تجب على كافر أصلي وصبي ومجنون ومغمى عليه وسكران بلا تعد لعدم تكليفهم ولا على حائض ونفساء لعدم صحتها منهما ولا قضاء عليهما بل تجب على مرتد ومتعد بسكر

Sesungguhnya diwajibkan al-maktubah artinya Shalat lima waktu terhadap setiap muslim yang mukallaf, artinya baligh (telah sampai umur) berakal laki-laki atau lainnya, lagi yang suci. Maka tidak diwajibkan shalat terhadap kafir asli, anak-anak, orang gila, orang pitam dan orang mabuk tanpa unsur kesengajaan disebabkan ketiadaan ditaklif (dituju hukum) kepada mereka. Juga tiada diwajibkan shalat terhadap perempuan yang berhaidh dan bernifas karena tiada sah shalat keduanya dan tiada (diperintahkan) qadha terhadap keduanya. Namun diwajibkan qadha kepada murtad dan orang yang sengaja mabuk.

( ويقتل ) أي ( المسلم ) المكلف الطاهر حدا بضرب عنقه ( إن أخرجها ) أي المكتوبة عامدا ( عن وقت جمع ) لها إن كان كسلا مع اعتقاد وجوبها ( إن لم يتب ) بعد الاستتابة وعلى ندب الاستتابة لا يضمن من قتله قبل التوبة لكنه يأثم ويقتل كفرا إن تركها جاحدا وجوبها فلا يغسل ولا يصلى عليه
( ويبادر ) من مر ( بفائت ) وجوبا إن فات بلا عذر فيلزمه القضاء فورا قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه وأنه يحرم عليه التطوع ويبادر به ندبا إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك

Dan dibunuhkan sebagai “had” (atas nama had [ganjaran], artinya bukan sebagai kafir) Muslim yang mukallaf lagi yang suci dengan memotong lehernya, jika mengeluarkan shalat maktubah (fardhu) dari waktu jama’ bagi shalat terseut secara sengaja karena malas mengerjakan shalat dan beri’tiqad wajib shalat. Hal ini apabila ia belum bertaubat setelah diperintah untuk bertaubat. Berpijak atas pendapat sunat perintah taubat, seesorang yang membunuh orang yang meninggalkan shalat sebelum bertaubat tidak diberatkan untuk membayar diyat, tetapi seseorang tersebut berdosa. Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat maka orang tersebut dibunuh sebagai kafir, karena itu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

Dan diwajibkan kepada orang yang telah disebutkan (Muslim yang mukallaf lagi yang suci) untuk mengqadhakan shalat yang tinggal. Jika meninggalkan shalat tanpa keuzuran (alasan yang diterima oleh agama) maka diwajibkan kepadanya untuk mengqadhakannya dengan segera. Syaikhuna Ahmad bin Hajar rahimahullah (Ibnu Hajar al-Haitami) berkata : “Secara dhahir bahwa wajib terhadap seseorang yang meninggalkan shalat tanpa uzur menggunakan seluruh waktunya selain waktu yang tidak boleh tidak untuk kebutuhannya untuk mengqadhakan shalatnya. Dan haram terhadapnya mengerjakan shalat sunat”.

Disunatkan menyegerakan qadha jika tertinggal shalatnya karena ada uzur seperti tidur yang tidak disengaja dan juga lupa.

Note : Tidur yang disengaja maksudnya tidur saat waktu shalat telah tiba atau hampir tiba dan ia yakin atau ragu tidak akan terbangun untuk melakukan shalat. Jika ia tidur bukan dalam waktu shalat dan tidak terbangun hingga lewat waktu shalat, maka dikatakan tidur yang tidak disengaja.

( ويسن ترتيبه ) أي الفائت فيقضي الصبح قبل الظهر وهكذا ( وتقديمه على حاضرة لا يخاف فوتها ) إن فات بعذر وإن خشي فوت جماعتها على المعتمد
وإذا فات بلا عذر فيجب تقديمه عليها أما إذا خاف فوت الحاضرة بأن يقع بعضها وإن قل خارج الوقت فيلزمه البدء بها ويجب تقديم ما فات بغير عذر على ما فات بعذر وإن فقد الترتيب لأنه سنة
والبدار واجب ويندب تأخير الرواتب عن الفوائت بعذر ويجب تأخيرها عن الفوائت بغير عذر
( تنبيه ) من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه وفي قول أنها تفعل عنه أوصى بها أم لا حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Dan disunatkan mengqadha shalat yang tertinggal secara tertib, karena itu diqadhakan lebih dahulu shalat Subuh sebelum shalat Zhuhur dan seterusnya. Disunatkan juga mendahulukan shalat qadha (shalat diluar waktunya) atas shalat hadhir (shalat dalam waktunya) jika tidak ditakutkan habis waktu shalat hadhir, hal ini jika tertinggal shalat yang harus diqadha disebabkan uzur (alasan yang dibolehkan oleh agama) sekalipun karena mendahulukan qadha tidak sempat melaksanakan shalat hadhir secara berjamaah, berdasarkan pendapat yang mu’tamad (kuat).

Apabila shalat yang luput (tertinggal) bukan karena sebuah ke-uzuran maka wajib mendahulukan shalat qadha atas shalat hadhir. Adapun apabila ditakutkan habis waktu untuk shalat hadhir (jika didahulukan shalat qadha), seperti akan ada sebagian, sekalipun sedikit,  shalat hadhir yang dilakukan diluar waktunya maka wajib terhadap seseorang untuk memulai dengan shalat hadhir. Dan diwajibkan mendahulukan shalat yang luput dengan tanpa uzur atas shalat yang luput dengan adanya uzur, sekalipun tidak terjadi tertib karena mengqadha secara tertib hukumnya sunat.

Menyegerakan (qadha shalat) hukumnya wajib. Disunatkan mentakkhirkan shalat sunat rawatib (shalat sunat yang mengiringi shalat fardhu) dari pada shalat yang luput dengan uzur dan wajib mentakkhirkan shalat sunat rawatib dari pada shalat yang luput tanpa uzur.

(Penting) Apabila seseorang meninggal dunia padahal wajib atasnya shalat fardhu (karena tidak dikerjakan semasa hidupnya) maka tidak boleh diqadhakan (oleh orang lain) dan tidak boleh digantikan dengan fidyah. Menurut sebuah pendapat boleh dikerjakan shalatnya (oleh orang lain) diwasiatkan oleh mait (untuk mengqadhakannya) ataupun tidak. Pendapat ini (boleh dilakukan shalatnya oleh orang lain) diriwayat oleh al-‘Ubady dari pada Imam Syafi’i rahimahullah berdalilkan sebuah Hadits (riwayat Imam Bukhari. I’anatuth Thalibin). (Mengamalkan pendapat ini) Imam Subki pernah mengqadhakan shalat sebagian kerabatnya.

( ويؤمر ) ذو صبا ذكر أو انثى ( مميز ) بأن صار يأكل ويشرب ويستنجي وحده أي يجب على كل من أبويه وإن علا ثم الوصي
وعلى مالك الرقيق أن يأمر ( بها ) أي الصلاة ولو قضاء وبجميع شروطها ( لسبع ) أي بعد سبع من السنين أي عند تمامها وإن ميز قبلها وينبغي مع صيغة الأمر التهديد

Dan diperintahkan untuk melakukan shalat walaupun shalat qadha terhadap anak kecil laki-laki atau perempuan yang telah mumaiyiz, yaitu anak-anak yang telah mampu makan, minum dan beristinja’ (bersuci dari kencing dan berak) dengan sendirinya. Artinya (perintah menyuruh anak yang sudah mumaiyiz untuk mengerjakan shalat sekalipun shalat qadha) diwajibkan terhadap kedua orang tuanya, selanjutnya (jika tidak ada kedua orang tuanya) diwajibkan terhadap kakeknya dan seterusnya (ke atas, ayah kakek, ayah ayah kakek dst) kemudian (jika tidak ada orang tuanya dan tidak ada kakeknya) diwajibkan terhadap washi (orang yang menerima wasiat untuk menjaga dan mendidik anak-anak) begitu juga diwajibkan terhadap pemilik hamba sahaya (memerintahkan budaknya). Dan wajib pula memerintahkan anak yang telah mumaiyiz untuk menyempurnakan semua syarat shalat. Perintah ini ditujukan kepada anak kecil yang mumaiyiz apanila ia telah berusia tujuh tahun, maksudnya telah genab usianya tujuh tahun, sekalipun ia telah mumaiyiz sebelum sampai pada usia tujuh tahun. Dan jika diperlukan (seperti ia tidak mau shalat), maka boleh menegaskan perintah ini (seperti memarahi atau membentak).

( ويضرب ) ضربا غير مبرح وجوبا ممن ذكر ( عليها ) أي على تركها ولو قضاء أو ترك شرطا من شروطها ( لعشر ) أي بعد استكمالها للحديث الصحيح مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها ( كصوم أطاقه ) فإنه يؤمر به لسبع ويضرب عليه لعشر كالصلاة وحكمة ذلك التمرين على العبادة ليتعودها فلا يتركها وبحث الأذرعي في قن صغير كافر نطق بالشهادتين أنه يؤمر ندبا بالصلاة والصوم يحث عليهما من غير ضرب ليألف الخير بعد بلوغه وإن أبى القياس ذلك انتهى

Dan wajib terhadap orang yang telah disebutkan (ayah, ibu, kakek dan seterusnya) memukul mumaiyiz yang telah sempurna umurnya sepuluh tahun (pukulan) yang tidak melukai karena meninggalkan shalat walaupun shalat qadha’ atau karena meninggalkan sebuah syarat dari syarat-syarat shalat. (Kewajiban memukul ini) berdasarkan Hadits Shahih “Perintahkan olehmu anak-anak mengerjakan shalat apabila telah sampai umurnya tujuh tahun. Dan apabila ia telah berusia sepeuluh tahun maka pukul olehmu anak tersebut karena meninggalkan shalat”. Seperti puasa yang ia sanggup kerjakan, maka anak-anak yang sanggup mengerjakan puasa diperintahkan (oleh orang tuanya) saat berusia tujuh tahun dan dipukul karena meninggalkan puasa saat telah berusia sepuluh tahun, sama juga seperti shalat.

Hikmah demikian (perintah shalat sejak dini) adalah untuk mendidik anak usia dini dalam beribadah suapay menjadi kebiasaannya maka ia tidak akan meninggalkannya (kemudian hari). Imam Azra’iy membahas tentang budak/hamba sahaya kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadah bahwa disunatkan memerintahkan kepadanya shalat dan puasa dengan mengajaknya melakukannya shalat dan puasa tanpa memukul. Tujuannya agar ia terbiasa dengan kebaikan saat baligh nanti, sekalipun hukum ini bertentangan dengan maksud hukum dari perintah Rasulullah. Demikian Imam Azra’iy.

ويجب أيضا على من مر نهيه عن المحرمات وتعليمه الواجبات ونحوها من سائر الشرائع الظاهرة ولو سنة كسواك وأمره بذلك ولا ينتهي وجوب ما مر على من مر إلا ببلوغه رشيدا وأجرة تعليمه ذلك كالقرآن والآداب في ماله ثم على أبيه ثم على أمه

Dan wajib pula terhadap orang-orang yang telah disebutkan (ayah, ibu, kakek dan seterusnya), mencegah/melarang mumayyiz (anak-anak yang telah mampu makan, minum dan beristinja’ (bersuci dari kencing dan berak) dengan sendirinya) dari segala sesuatu yang diharamkan dalam agama. Dan wajib pula mengajarinya seluruh kewajiban (seperti shalat, puasa, zakat, haji dan juga hal yang berkaitan dengannya seperti rukun-rukun dan syarat-syarat) dan juga yang seumpama kewajiban, yaitu semua syari’at yang dhahir (diketahui oleh semua lapisan masyarakat Islam) walaupun syariat tersebut adalah sunat, seperti mengajarinya tentang bersugi/bersiwak (menggosok gigi) dan memerintahkannya dengan bersugi.

Kepada orang-orang yang telah disebutkan, kewajiban yang telah disebutkan ini tidak berakhir sehingga mumaiyiz tersebut sampai pada masa Rasyid (mampu menjaga agama dan harta dengan benar).

Beban biaya pendidikan anak-anak seperti belajar al-Quran dan Adab (Tasauf) diambil dari harta si anak, jika tidak ada maka dari harta bapaknya kemudian dari harta ibunya.

(تنبيه) ذكر السمعاني في زوجة صغيرة ذات أبوين أن وجوب ما مر عليهما فالزوج وقضيته وجوب ضربها وبه ولو في الكبيرة صرح جمال الإسلام البزري قال شيخنا وهو ظاهر إن لم يخش نشوزا وأطلق الزركشي الندب
(وأول واجب) حتى على الأمر بالصلاة كما قالوا (على الآباء) ثم على مر من (تعليمه) أي المميز (أن نبينا محمدا صلى الله عليه وسلم بعث بمكة) وولد بها (ودفن بالمدينة) ومات بها

(Tanbih) as-Sam’any menyebutkan tentang seorang istri yang masih anak-anak yang mempunyai kedua orang tuanya bahwa kewajiban yang telah disebutkan dipundakkan kepada kedua orang tuanya, [jika kedua orang tuanya tidak ada] maka kewajiban tersebut berpindah kepada suami. Kewajiban ini menghendaki kepada wajib (terhadap orang tua kemudian suami) memukuli istri yang masih kecil (jika tidak mematuhi, sama seperti memukul mumaiyyiz).

Jamalul Islam al-Bizry menjelaskan bahwa kewajiban memukul tersebut juga berlaku sekalipun pada istri yang dewasa. Berkata Syaikhuna (Ibn Hajar al-Haitamy) pendapan ini dhahir (jelas/kuat) apabila tidak ditakutkan akan terjadi nusyuz (penolakan ketaatan olehistri terhadap suami). Imam az-Zarkasyi mengatakan bahwa hukumnya sunat secara muthlaq (ditakutkan nusyuz atau tidak).

Kewajiban paling awal yang dipundakkan kepada kedua orang tua kemudian kepada orang yang telah disebutkan, sehingga lebih didahulukan dari pada perintah dengan shalat, sebagai mana telah dijelaskan oleh semua Ulama, adalah mengajari mumaiyiz bahwa sesungguhnya Nabi kita Saiyyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat (sebagai Rasul) dan dilahirkan di Kota Suci Mekkah dan di makamkan dan wafat di Kota Suci Madinah.*

*Kemungkinan penyebab Mushannif (pengarang) memilih menyebutkan kewajiban pertama ini adalah bahwa orang yang mengingkari kedua hal ini akan menjadi kafir dan hal ini merupakan hal yang kadang sering dilupakan oleh masyarakat umum. Namun demikian, kewajiban pertama yang harus diajarkan kepada mumaiyiz bukan hanya ini saja melainkan I’tiqad lima puluh dan beberapa hal lain yang telah disepakati kewajibannya, seperti mengetahui Nasab Rasulullah dan lainnya.

Terima Kasih, semoga bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga bagi kaum muslimin yang diRahmati Allah Swt... Amiin

Senin, 05 Januari 2015

KEUTAMAAN BANGUN DAN SHOLAT MALAM

SHOLAT MALAM
----==oOo==----

Diantara ayat Alquran dan hadist Nabi Saw yang menyebutkan tentang keutamaan bangun di waktu malam hari dan melakukan sholat malam itu ialah Firman Allah yang berbunyi :

تتجا فى جنو بهم عن المضا جع يد عون ربهم خوفا وطمعا ومما رزقنهم ينفقون. الثجده ؛ ١٦

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harapan dan mereka menafkahkan sebagian dari hartanya yang Kami berikan kepada mereka."
(As Sajdah :16)

والذين يبيتون لربهم سجدا وقياما. الفر قان :٦٤

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka."
(Al furqaan : 64)

كانوا قليلا منالليل ما يهجعونوبالاسحارهم يستغفرون وفى اموالهم حق للسا ئل والمحروم. الذاريات : ١٧-١٨

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)."
(Adz Dzariyaat : 17-18)

Adapun Hadits Nabi Muhammad Saw yang ada hubungannya dengan keutamaan bangun di waktu malam itu ialah :

Sabda Rasulullah Saw :

ركعتان ير كعهماالعبدفى حوف الليل خيرله من الد نياومافيها. (رواه ادوانى ابو عباس)

"Dua rakaat yang dilakukan oleh seorang hamba di tengah-tengah malam itu adalah lebih baik dari pada dunia ini beserta isinya".
(HR. Adam Bin Abu Abbas).

ان من الليل ساعة لايوا فقهما عبد مسلم يسال الله تعالى خيراالااعطام اياه وذلك كل ليله. (رواه مسلم).

"Sesungguhnya dari sebagaian waktu malam itu ada suatu saat yang tiada menyamai kebaikannya bagi seorang muslim untuk memohonkan sesuatu yang baik kepada Allah Ta'ala, melainkan oleh Allah pasti akan dikabulkan. Demikian itu ada setiap malam".
(HR. Muslim).

عليكم بقيام الليل فانه داب الصالحين قبلكم. (رواه الترمذى).

"Hendaklah kamu semua melakukan sholat di waktu malam, sebab yang demikian itu adalah perilaku orang-orang yang shalih sebelum kamu".
(HR. Turmudzi).

Adapun yang menjadi penyebab mudah dan malasnya seorang muslim itu untuk melakukan sholat malam atau bangun di malam hari itu adalah :

1. Jangan terlalu banyak makan, sebab dengan begitu banyak makan tentulah akan banyak pula minumnya dan jika sudah demikian maka akan berpengaruh dengan kantuk dan tidur. Dengan demikian lalu akan merasa malaslah atau berat untuk melakukan sholat di waktu malam.

2. Jangan meninggalkan tidur siang sekalipun itu sebentar atau sedikit. Sebab hal itu akan membantu untuk menggiatkan bangun di malam hari.

3. Hendaklah di insyafi dengan benar dan yakin betapa pentingnya menjaga sholat di waktu malam dengan bersungguh sungguh, dan memperhatikan ayat ayat serta hadist yang mengatakan tentang hal itu. Dengan tertanam nya kesadaran dengan sedemikian ini secara mendalam, maka akan kokohlah keinginan nya serta besar pulalah harapan dan kerinduannya akan pahala yang di berikan Allah Ta'ala. Bahkan apabila perasaan demikian itu telah mendalami dan benar, maka kerinduan nya itu akan melonjak tinggi sehingga makin ingin mendapatkan tambahan dan ingin sekali mendapatkan tingkat tertinggi di dalam Surga.

4. Inilah pengaruh yang sangat besar dan utama sekali dalam hal ini yaitu Kecintaannya Kepada Allah Ta'ala, kuatnya imam dan keyakinan bahwa diwaktu melakukan sholat malam itu ia dapat bercakap cakap dengan Allah Azza Wa Jalla secara lebih langsung dan dekat. Jadi tidak satu huruf pun yang diucapkan oleh bibirnya melainkan ia merasa bahwa benar benar bermunajat kepada Allah. Selain dari itu juga ia meyakinkan bahwa Allah akan mendengar dan melihat apa saja yang ada didalam diri nya, dan apa saja yang ia inginkan sehingga Allah akan mengabulkan setiap Permohonan nya.

Kesimpulannya :

Pentingnya mendidik diri sendiri untuk melakukan sholat di waktu malam itu, karena dengan demikian kita akan lebih mengenal dan mencintai Sang Pencipta kita yaitu Allah Swt.

Dan menyadari betapa kita membutuhkan pertolongan Allah akan kelangsungan hidup kita baik didunia maupun diakhiratNya. Sehingga kita luluh dan terlepas akan sikap sombong dan dengki hati juga terbebas dari Akhlak yang buruk, yang dapat menjauhkan hati kita terutama kepada Allah Ta'ala.

Oleh sebab itu, kita sebagai manusia yang daif akan merasa lebih nyaman dan juga merasa bahwa benar benar ingin mencintai Allah sebagai Tuhan yang wajib kita sembah.

Maka dengan rasa demikian akan timbul rasa kelezatan bermunajat dengan Dzat yang kita cintai, dan merasa ingin terus dan terus mendekatkan diri kita kepada Allah Swt.

Demikian lah, sedikit catatan kecil yang dapat penulis jabarkan mengenai "Keutamaan Bangun Di Malam Hari" untuk melakukan sholat dan beribadah guna meningkatkan kualitas iman kita hanya kepada Allah Swt.

Semoga bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan untuk para pembaca yang budiman. Semoga Allah selalu memberikan kita Hidayah Nya dan keberkahan Nya dalam kehidupan kita sehari hari hingga Akhirat yang kekal lagi abadi. Amiin ya rabbal 'alamiin.

---==oOo==---
Teuku Al Khalidy (Waled)

KETENTUAN SHALAT DHUHA BERJAMAAH

SHALAT DHUHA BERJAMAAH atau HUKUM SHALAT SUNNAH BERJAMAAH

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh..

Ustad, afwan mau Tanya: Bagaimana hukum shalat dhuha berjamaah? Boleh dilakukan apa tidak? Jika boleh apa menggunakan bacaan jahr atau sir ? terima kasih atas jawabannya ustad dan jazakumullah khairan katsiran.

Jawab:
Wa'alaikum Salam Warrahmatullahi Wabarakaatuh...!!!

Segala puji hanya milik Allah semata dan semoga shalawat beriring salam senantiasa tersampaikan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Berjamaah pada shalat nafilah (selain wajib) tidaklah dianjurkan. Kecuali pada shalat-shalat yang senantiasa dilakukan Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan berjamaah. Seperti shalat gerhana matahari dan bulan, shalat istisqa’, shalat dua hari raya dan shalat tarawih.

Adapun yang selain itu maka shalat nafilah tidak dianjurkan dikerjakan secara berjamaah seperti shalat dhuha dan qiyamullail selain tarawih. Namun boleh dilakukan terkadang-kadang tanpa dijadikan rutinitas.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ syarh Al-Muhadzdzab (3/548) berkata:

” قد سبق أن النوافل لا تشرع الجماعة فيها إلا في العيدين والكسوفين والاستسقاء , وكذا التراويح والوتر بعدها ….
وأما باقي النوافل كالسنن الراتبة مع الفرائض والضحى والنوافل المطلقة فلا تشرع فيها الجماعة , أي لا تستحب , لكن لو صلاها جماعة جاز , ولا يقال : إنه مكروه وقد نص الشافعي رحمه الله على أنه لا بأس بالجماعة في النافلة ، ودليل جوازها جماعة أحاديث كثيرة في الصحيح منها حديث عتبان بن مالك رضي الله عنه ” أن النبي صلى الله عليه وسلم جاءه في بيته بعدما اشتد النهار ومعه أبو بكر رضي الله عنه فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أين تحب أن أصلي من بيتك ؟ فأشرت إلى المكان الذي أحب أن يصلي فيه فقام وصفنا خلفه ثم سلم وسلمنا حين سلم ” رواه البخاري ومسلم , وثبتت الجماعة في النافلة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من رواية ابن عباس وأنس بن مالك وابن مسعود وحذيفة رضي الله عنهم , وأحاديثهم كلها في الصحيحين إلا حديث حذيفة ففي مسلم فقط , والله أعلم ” انتهى .

Artinya:
Telah dijelaskan bahwa shalat nafilah tidak ada syariat untuk dikerjakan secara berjamaah selain shalat dua hari raya, shalat dua gerhana, shalat istisqa’, shalat tarawih, dan shalat witir.

Adapun shalat-shalat nafilah yang lain seperti shalat sunnah rawatib yang dikerjakan bersamaan dengan shalat wajib, juga shalat dhuha dan shalat nafilah mutlak maka tidak disyariatkan dengan berjamaah. Maksudnya tidak dianjurkan. Tapi jika dikerjakan secara berjamaah maka boleh dilakukan. Dan tidak dikatakan: hal itu hukumnya makruh.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah menjelaskan bahwa tidak masalah mengerjakan shalat nafilah dengan berjamaah. Dalil dibolehkannya dengan berjamaah adalah banyak hadis dalam kitab sahih.

Seperti Hadis Itban bin Malik radhiyallahu anhu: Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke rumahnya setelah siang yang sangat panas. Beliau datang bersama Abu Bakr RA. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya: “Dimana engkau ingin saya shalat dalam rumahmu?” maka saya memberi isyarat tempat yang saya ingin beliau mengerjakan shalat di situ. Beliau pun berdiri dan kami berbaris di belakangnya. Kemudian beliau berucap salam dan kami pun bersalam setelah beliau salam.”Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim.

Juga terdapat hadis sahih tentang berjamaah dalam shalat nafilah bersama Rasulullah SAW dari riwayat Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud, dan Hudzaifah radhiyallahu anhum. Seluruh Hadis mereka terdapat dalam Ash-Sahihain. Kecuali hadis Hudzaifah maka hanya diriwayatkan imam Muslim. Allahu a’lam.” Sampai sini perkataan imam An-Nawawi.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (1/442):

” يجوز التطوع جماعة وفرادى ; لأن النبي صلى الله عليه وسلم فعل الأمرين كليهما , وكان أكثر تطوعه منفردا , وصلى بحذيفة مرة , وبابن عباس مرة , وبأنس وأمه واليتيم مرة , وأم أصحابه في بيت عتبان مرة , وأمهم في ليالي رمضان ثلاثا , وسنذكر أكثر هذه الأخبار في مواضعها إن شاء الله تعالى , وهي كلها صحاح جياد ” انتهى.

Artinya:
“Shalat tatawu’ (nafilah) boleh dilakukan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerjakan masing-masing keduanya. Tetapi kebanyakan shalat tatawu’ yang beliau kerjakan adalah sendirian. Beliau pernah shalat tatawu’ bersama dengan Hudzaifah. Pernah dengan Ibnu Abbas. Dan pernah juga bersama Anas, ibunya, dan anak yatim. Beliau juga pernah mengimami para sahabat dalam rumah Itban. Juga mengimami para sahabat pada malam-malam ramadhan sebanyak tiga kali. Kami akan menyebutkan dalil-dalil masalah ini pada tempatnya insya Allah dan semuanya adalah Hadis sahih yang bagus.” Sampai sini perkataan ibnu Qudamah.

Syaikh Ibnul Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Bagaimana hukum shalat nafilah dengan berjamaah, seperti shalat dhuha misalnya?

Beliau menjawab:

“صلاة النافلة جماعة أحياناً لا بأس بها ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلى جماعة في أصحابه في بعض الليالي فصلى معه ذات مرة عبد الله بن عباس رضي الله عنهما ، وصلى معه مرة عبد الله بن مسعود رضي الله عنه ، وصلى معه مرة حذيفة بن اليمان رضي الله عنه ….والحاصل : أنه لا بأس أن يصلي الجماعةُ بعض النوافل جماعة ، ولكن لا تكون هذه سنة راتبة كلما صلوا السنة صلوها جماعة ؛ لأن هذا غير مشروع ” انتهى من “مجموع فتاوى ابن عثيمين” (14/232)

Artinya:
“Shalat nafilah secara berjamaah yang dilakukan kadang-kadang adalah tidak masalah dilakukan. Karena Nabi shallallaahu alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat nafilah secara berjamaah bersama para sahabat pada beberapa malam. Beliau pernah shalat bersama Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Pernah shalat bersama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Dan pernah shalat bersama Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu. Intinya: Shalat nafilah tidak menjadi masalah dilakukan dengan berjamaah, jika dilakukan kadang-kadang. Tapi tidak boleh dijadikan sebagai suatu keharusan yang setiap melakukannya kita mengerjakannya dengan berjamaah. Karena ini tidak disyariatkan.” (Diambil dari Majmu’ fatawa Ibni Utsaimin, 14/232)

Dan pada dasarnya shalat-shalat yang dilakukan pada siang hari, adalah dibaca dengan bacaan sir (tidak keras). Karena itu siapa saja yang mengerjakan shalat dhuha berjamaah bersama kaum muslimin, maka harus bersuara pelan.

Wallahu A'lam..

Sabtu, 20 Desember 2014

Bagaimana Hukumnya Memberikan Salam Kepada Kafir

::: WAJIB KITA KETAHUI :::

1. Hukum Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim

Dari Abu Hurairah R.A. , Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُود وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدهمْ فِي طَرِيق فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقه

“Janganlah kalian awali megucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. al- Muslim dari Abu Hurairah)

Mengenai hadits ini Imam Nawawi berkata, “Larangan yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan keharaman, Inilah yang benar bahwa memulai mengucapkan salam pada orang kafir dinilai haram.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 145).

Mengenai hadits ini yang dimaksud dengan salam adalah ucapan salam islam yang mendoakan keselamatan, keberkahan akhirat seperti Assalaamu’alaikum, Hayyakallah, Barakallahu fiik, dll yang bermakna doa sedangkan mengucapkan salam seperti selamat pagi, selamat siang, dll yang tidak bermakna doa itu tidak apa apa.

Dari Usamah bin Zaid -radhiallahu ‘anhu- dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ, وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ -وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ- وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ. حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ, وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَفِي الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ. فَلَمَّا غَشِيَتْ الْمَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ, خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ ثُمَّ قَالَ: لَا تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا. فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ

“Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengendarai keledai yang di atasnya ada pelana bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar. Beliau kemudian berjalan melewati suatu majelis yang di dalam majelis tersebut bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, ‘Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.” Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 6254 dan Muslim no. 1798)

Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa mengucapkan salam kepada suatu majlis yang terdiri dari orang muslim dan non muslim itu tidak apa apa sedangkan yang tidak boleh adalah mengucapkan salam kepada orang non muslim

2. Hukum Menjawab Salam Non Muslim

Kebanyakan ulama berpendapat wajib menjawab salam non muslim (salam yang benar bukan salam yang disimpangkan) tapi bukan dengan ucapan salam yang mendoakan keselamatan, keberkahan, dll yang mengandung doa melainkan dengan hanya menjawab wa’alaikum

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa’alaikum.” (HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)

Dalam hadits ini sudah jelas jika menjawab salam orang non muslim kita jawab saja dengan ucapan wa’alaikum

مَرَّ يَهُودِىٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسل فَقَالَ السَّامُ عَلَيْكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  « وَعَلَيْكَ » . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  « أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَقْتُلُهُ قَالَ « لاَ ، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ »

“Ada seorang Yahudi melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengucapkan ‘as saamu ‘alaik’ (celaka engkau).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas membalas ‘wa ‘alaik’ (engkau yang celaka). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi mengucapkan ‘assaamu ‘alaik’ (celaka engkau)?” Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami membunuhnya saja?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan. Jika mereka mengucapkan salam pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6926)

Berhati hatilah kalian jika mendengar seorang non muslim mengucapkan salam kepada kalian karena mungkin itu adalah salam yang disimpangkan maka jika itu adalah salam yang disimpangkan jawablah sama seperti menjawab salam yang benar yaitu jawab dengan wa’alaikum hanya saja menjawab salam yang disimpangkan menurut para ulama tidak wajib. Tapi pada saat itu kondisi peperangan maka banyak yang menyimpangkan salam tapi menurut saya kalo jaman sekarang sepertinya sudah sedikit yg seperti itu.

Semoga Bermanfaat...

Teuku Alkhalidy

Rabu, 17 Desember 2014

HUKUM MENYEMBELIH HEWAN TANPA BISMILLAH

Fiqh, Hukum Menyembelih Hewan

SOAL!

Menyembelih Tanpa Bismillah, Halalkah?

Assalmualakum Wr. Wb,

Saya punya pertanyaan yang butuh jawaban tuntas dari orang seperti pak Ustadz, yang saya anggap lebih banyak mengerti hukum syariah.

Bagaimana cara kita meyakini bahwa daging yang dijual orang benar-benar disembelih dengan membaca bismillah. Kalau ternyata tidak baca bismillah, apakah kita telah makan makanan yang haram?

Adakah pendapat yang membolehkan kita menyembelih tanpa baca basmalah? Dan apa dalilnya?

Sebelumnya saya ucapakan banyak terima kasih, semoga pak Ustadz selalu dalam lindungan Allah SWT.

Wassalamualikum Wr. Wb

JAWABAN!

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang sudah menjadi semacam pendapat umum di tengah umat Islam, baik di negeri kita maupun di mancanegara bahwa basmalah itu menjadi syarat sah penyembelihan. Walaupun sebenarnya kalau kita mau telusuri lebih dalam, ternyata pendapat ini bukan merupakan ijma' ulama.

Artinya, masalah keharusan membaca lafadz basmalah ini ternyata masalah khilafiyah, dimana sebagian ulama mengharuskannya, namun sebagian lainnya tidak mewajibkannya.

Dalam hal ini yang mewajibkan adalah jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah. Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah hanya mensunnahkan saja dan tidak sampai mewajibkan.

A. Jumhur ulama : Wajib

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan.

Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh jumhur ulama itu. Dalilnya adalah firman Allah:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)

Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah menurut jumhur ulama.

B. Mazhab As-Syafi'iyah : Sunnah

Namun lain lagi dengan pendapat mazhab Asy Syafi’iyah. Mazhab ini dan juga salah satu pendapat dari mazhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa hukum membaca basmalah (tasmiyah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan.

Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan. Meninggalkan basmalah baik disengaja atau tidak sengaja, tidak berpengaruh pada hasil sembelihan. Keduanya tetap menghasilkan sembelihan yang halal, syar'i dan boleh dimakan.

Mungkin buat kebanyakan kita, pendapat seperti agak aneh di telinga. Sebab yang umumnya kita tahu, basmalah itu mutlak diharuskan ketika menyembelih. Bahkan umumnya  para penceramah yang kita dengar di berbagai forum pengajian selalu mengingatkan kita untuk tidak makan sembelihan yang tidak dibacakan basmalah sebelumnya. Seolah-olah kewajiban membaca basmalah ini sudah menjadi ijma' yang bulat.

Ternyata justu mazhab As-Syafi'iyah sebagai mazhab mayoritas bangsa Indonesia malah mengatakan sebaliknya. Ternyata kita dibolehkan makan daging sembelihan yang tidak dibacakan basmalah. Yang penting penyembelihnya beragama Islam, atau sekurang-kurangnya termasuk ahli kitab.

Lalu timbul pertanyaan berikutnya, yaitu apa dalil dari kebolehan memakan daging yang disembelih tanpa basmalah? Adakah ayat atau hadits yang menjelaskan kebolehannya?

Tentu saja para ulama mazhab Asy-syafi'iyah punya banyak sekali dalil-dalil yang menyatakan kebolehan sembelihan tanpa basmalah. Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.

1. Pertama

Para ulama mazhab Asy-syafi'iyah berdalil dengan hadis shahih riwayat Ummul-Mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)

Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.

Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan saja.

2. Kedua

Mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah.

Maksud kata "disebut nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna "tidak membaca basmalah".

3. Ketiga

Halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)

Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.

Sumber Rujukan : Kitab Mazhab Asy-Syafi'iyah

Anda mungkin akan balik lagi bertanya, apa benar mazhab Asy-syafi'iyah punya pendapat seperti itu? Dari mana sumber rujukannya? Atau jangan-jangan ini cuma mengada-ada saja.

Jawabnya tentu pasti ada rujukannya. Sebab ketika kita menyebutkan bahwa seseorang atau suatu mazhab tertentu berpendapat dengan pendapat tertentu, kita wajib merujuk ke sumber-sumber literaturnya. Agar jangan sampai disebut sebagai pemalsu atau mudallis.

Salah satu kitab rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'i dan banyak digunakan oleh para ulamanya adalah kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj karya Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Ar-Ramli. Beliau lebih sering disebut sebagai Al-Imam Ar-Ramli saja. Beliau termasuk ulama yang lumayan banyak dijadikan rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah.

Silahkan buka kitab beliau yang satu ini, khususnya pada  jilid 8 halaman 112. Disana disebutkan masalah ketidak-harusan basmalah ketika kita menyembelih hewan. Perhatikan redaksi yang digunakan oleh penulis kitabnya, Ar-Ramli sebagai berikut  :

فَلَوْ تَرَكَهَا وَلَوْ عَمْدًا حَلَّ لأَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ ذَبَائِحَ أَهْلِ الْكِتَابِ بِقَوْلِهِ { وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ } وَهُمْ لا يَذْكُرُونَهَا

Seandainya (basmalah) itu ditinggalkan, baik secara sengaja, hukumnya halal. Karena Allah SWT telah menghalalkan sembelihan ahli kitab dengan firmannya (Dan sembelihan ahli kitab halal untukmu). Padahal mereka tidak membaca basmalah.

وَأَمَّا قوله تعالى { وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ } فَالْمُرَادُ مَا ذُكِرَ عَلَيْهِ غَيْرُ اسْمِ اللَّهِ : يَعْنِي مَا ذُبِحَ لِلأَصْنَامِ بِدَلِيلِ قوله تعالى { وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ }

Sedangkan firman Allah (Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah), maksudnya adalah hewan yang ketika disembelih dibaca nama selain Allah, yaitu dipersembahkan untuk berhala sebagaimana dalilnya (Dan yang disembelih untuk selain Allah).

وَسِيَاقُ الآيَةِ دَلَّ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ قَالَ { وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ } وَالْحَالَةُ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا فِسْقًا هِيَ الإِهْلالُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى { أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ } وَالإِجْمَاعُ قَامَ عَلَى أَنَّ مَنْ أَكَلَ ذَبِيحَةَ مُسْلِمٍ لَمْ يُسَمِّ عَلَيْهَا لَيْسَ بِفِسْقٍ

Dan dari sisi retorika bahasa memang menunjukkan hal itu.  Sebab firman Allah menyebutkan (karena hal itu fasik). Dan keadaan yang bisa membuat orang menjadi fasik adalah menyembelih untuk berhala selain Allah. Dan secara ijma' telah disepakati bahwa orang yang memakan sembelihan seorang muslim tidak akan disebut fasik.

Namun demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.

Itulah ketentuan sah atau tidak sahnya sebuah penyembelihan yang sesuai dengan syariah. Ketentuan lain merupakan adab atau etika yang hanya bersifat anjuran dan tidak memengaruhi kehalalan dan keharaman hewan itu.

Mana Pendapat Yang Benar?

Pertanyaan seperti ini menjadi ciri khas para penanya. Setelah diterangkan sekian banyak perbedaan pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya, maka pertanyaan pamungkasnya adalah : mana yang paling benar, mana yang paling kuat dan mana yang paling rajih.

Dan jawabannya sebagaimana umumnya jawaban-jawaban lainnya, bahwa kami tidak berada pada posisi sebagai 'tukang menyalahkan' atau 'tukang membenarkan' pendapat para ulama. Sebab kedudukan mereka sangat tinggi, jauh di atas kemampuan kita sebagai orang awam.

Apalah hak kita yang awam dan sama sekali tidak mengerti ilmu istimbath hukum, kok bisa merasa 'sok pintar' dan 'sok jago' dibandingkan para ulama itu. Seorang Ibnu Rusydi yang derajatnya keilmuannya sangat tinggi sekalipun 'tidak berani' membuat tarjih dengan menyalahkan suatu pendapat atau membenarkan pendapat lain. Semua itu bukan karena beliau tidak berilmu, melainkan karena beliau adalah seorang alim dan mujtahid yang amat sangat berakhlak mulia dan menjunjung tinggi para ualma.

Kalau seorang Ibnu Rusyd yang sangat kawakan saja masih punya sopan santun untuk tidak mentarjih, maka apatah lagi kami sebagai orang awam, tentu saja jadi sangat kurang-ajar kalau berani menyalahkan suatu pendapat yang keluar dari mulut para ulama.

Jadi jawabannya, kami tidak akan menyalahkan salah satunya. Semua hasil ijtihad para fuqaha itu benar, karena sudah melewati proses ijtihad yang panjang yang dilakukan oleh para ekspert di bidangnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Teuku Al Khalidy

Selasa, 16 Desember 2014

HUKUM MENIKAH WANITA HAMIL (Karena Zina)

Hukum Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina

A. Pendahuluan.

Pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan salah satunya penyalah gunaan penggunaan fasilitas teknologi seperti internet. Sehingga tidak heran jika banyak remaja yang masih usia sekolah datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan dispensasi kawin karena harus secepatnya menikah demi status anak yang ada dalam kandungan hasil dari perbuatan zina.

B. Permasalahan.

Pada dasarnya, wanita baru boleh menikah jika ia sudah tidak dalam masa Iddah (masa tunggu setelah bercerai dengan suami). Salah satu macam iddah adalah bagi wanita yang hamil ialah sampai ia melahirkan. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surat at-Talak ayat 4:

“Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah sampai ia melahirkan kandungannya“.

Lalu bagaimana hukumnya jika hamil akibat zina? apakah ia harus menunggu melahirkan baru boleh menikah seperti iddahnya wanita yang hamil karena menikah?

C. Dalil-Dalil.

Q.S. al-Nisa’: ayat 24:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.

Q.S. an-Nur: 3:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

Q.S. An-Nur: 32:

وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ من عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

Dan nikahkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang yang salih dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan.

D. Pembahasan.

Pendapat Ulama:

Imam Nawawi:

Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada iddah baginya, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi penzina dan lainnya yang bukan menzinainya menikahinya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya.” (Maktabah Syamilah: Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz. XVI, hlm. 242)

Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan:

Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh. (Usaha Keluarga: Bughyatul Mustarsyidin, Semarang, hlm. 201)

Dalam kitab al-Bajuri disebutkan: 

Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.

Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam kategori mutlak perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, dan tidak dalil atau ‘ilat yang menunjukkan akan keharaman menikahinya. 

Wanita yang hamil karena zina juga tidak mempunyai masa iddah karena hamil sebab zina tidak dihormati dalam agama, hal ini semakin dikuatkan dengan ketetapan bahwa anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menzinainya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
1. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
2. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
4. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya yang mengatakan bahwa wanita yang hamil karena zina boleh dan sah untuk dinikahi. Sehingga ketika masa hamil dan seterusnya pun halal untuk diwati’. 

Hal ini karena ayat di atas hanya khusus diperuntukkan bagi wanita hamil akibat dari adanya pernikahan yang sah secara syara’, termasuk nikah sirri dalam konteks ke-Indonesiaan, dimana masyarakat Indonesia menikahi nikah sirri jika tidak didaftarkan dan dilakukan di depan pegawai pencatat nikah namun syarat dan rukunnya terpenuhi secara syariat Islam.

Jika yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya, maka hal itu diperbolehkan karena memang dalam surat An-Nur ayat 3 disebutkan:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini (wanita) kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Sementara itu, bagaimana hukumnya jika laki-laki yang belum pernah berzina ingin menikahi wanita yang pernah berzina? 

Imam an-Nawawi pernah dalam kitab al-Umm menyebutkan:

Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. 

Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.

D. Kesimpulan

1. Seorang laki-laki yang pernah berzina boleh menikahi wanita yang pernah berzina pula (termasuk yang hamil akibat zina), pun sebaliknya.
2. Seorang laki-laki yang belum pernah berzina boleh menikahi wanita yang pernah berzina (termasuk yang hamil akibat zina) walaupun hukumnya makruh, pun sebaliknya.