Selasa, 16 Desember 2014

HUKUM MENIKAH WANITA HAMIL (Karena Zina)

Hukum Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina

A. Pendahuluan.

Pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan salah satunya penyalah gunaan penggunaan fasilitas teknologi seperti internet. Sehingga tidak heran jika banyak remaja yang masih usia sekolah datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan dispensasi kawin karena harus secepatnya menikah demi status anak yang ada dalam kandungan hasil dari perbuatan zina.

B. Permasalahan.

Pada dasarnya, wanita baru boleh menikah jika ia sudah tidak dalam masa Iddah (masa tunggu setelah bercerai dengan suami). Salah satu macam iddah adalah bagi wanita yang hamil ialah sampai ia melahirkan. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surat at-Talak ayat 4:

“Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah sampai ia melahirkan kandungannya“.

Lalu bagaimana hukumnya jika hamil akibat zina? apakah ia harus menunggu melahirkan baru boleh menikah seperti iddahnya wanita yang hamil karena menikah?

C. Dalil-Dalil.

Q.S. al-Nisa’: ayat 24:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.

Q.S. an-Nur: 3:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

Q.S. An-Nur: 32:

وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ من عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

Dan nikahkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang yang salih dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan.

D. Pembahasan.

Pendapat Ulama:

Imam Nawawi:

Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada iddah baginya, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi penzina dan lainnya yang bukan menzinainya menikahinya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya.” (Maktabah Syamilah: Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz. XVI, hlm. 242)

Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan:

Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh. (Usaha Keluarga: Bughyatul Mustarsyidin, Semarang, hlm. 201)

Dalam kitab al-Bajuri disebutkan: 

Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.

Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam kategori mutlak perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, dan tidak dalil atau ‘ilat yang menunjukkan akan keharaman menikahinya. 

Wanita yang hamil karena zina juga tidak mempunyai masa iddah karena hamil sebab zina tidak dihormati dalam agama, hal ini semakin dikuatkan dengan ketetapan bahwa anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menzinainya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan dalam pasal 53:

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
1. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsung tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
2. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
4. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya yang mengatakan bahwa wanita yang hamil karena zina boleh dan sah untuk dinikahi. Sehingga ketika masa hamil dan seterusnya pun halal untuk diwati’. 

Hal ini karena ayat di atas hanya khusus diperuntukkan bagi wanita hamil akibat dari adanya pernikahan yang sah secara syara’, termasuk nikah sirri dalam konteks ke-Indonesiaan, dimana masyarakat Indonesia menikahi nikah sirri jika tidak didaftarkan dan dilakukan di depan pegawai pencatat nikah namun syarat dan rukunnya terpenuhi secara syariat Islam.

Jika yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya, maka hal itu diperbolehkan karena memang dalam surat An-Nur ayat 3 disebutkan:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini (wanita) kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Sementara itu, bagaimana hukumnya jika laki-laki yang belum pernah berzina ingin menikahi wanita yang pernah berzina? 

Imam an-Nawawi pernah dalam kitab al-Umm menyebutkan:

Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. 

Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.

D. Kesimpulan

1. Seorang laki-laki yang pernah berzina boleh menikahi wanita yang pernah berzina pula (termasuk yang hamil akibat zina), pun sebaliknya.
2. Seorang laki-laki yang belum pernah berzina boleh menikahi wanita yang pernah berzina (termasuk yang hamil akibat zina) walaupun hukumnya makruh, pun sebaliknya.

Sejarah Awal Ahlussunnah Wal Jamaah

Sejarah Awal Mula Timbulnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah

Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid’ah dikalangan umat Islam.

Yang jelas wabah bid’ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi’in dan jaman tabi’in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal. 84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan,

“Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid’ah mereka menanyakan, ‘sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid’ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid’ah ditolak.”

Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid’ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meninggal pada tahun 110 H. Kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah.

Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid’ah melalui khalifah tersebut.

Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama’ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlus sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid’ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid’ah mendominasi masyarakat Islam.

Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Mengapa ahlus sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para sahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seperti Ijma' dan Qiash mereka dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits?

Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya.

Faktor ini membuat para sahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari’ah Islamiyah.

Dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini.

Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini.

1.    Para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah:

“Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (Al-Fath : 18)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para  yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan tidak lari dari medan perang.

Diriwayatkan bahwa yang ikut ba’iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (Al Maa’idah : 54)

Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap sahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.

2.    Para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

“Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143)

Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di ayat ini ialah para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan:

“Dan aku berpandangan bahwasanya Allah Ta’ala menyebut mereka sebagai “orang yang ditengah” karena mereka bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai orang-orang yang ghulu (melampaui batas) dalam beragama sebagaimana ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi umat ini adalah orang-orang yang adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.

3.    Para sahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman

Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah:137)

Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para sahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.

Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat:

“Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath 29)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam merujuk kepada para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur’an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadits shahih yang menerangkan keutamaan sahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.

4.    Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :

a.    Kebaikan para sahabat tidak mungkin disamai
“Jangan kalian mencerca para sahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud (ukuran gandum sebanyak dua telapak tangan dirapatkan satu dengan lainnya) makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Para sahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula

“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda,

‘Sebaik-baik umatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya (yakni tabi’in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi’it tabi’in).

Imran mengatakan: ‘Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.’ Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda,

‘Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya’.” (HR Bukhari)

c. Para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :

Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para sahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah.” (HR Al-Laalikai dan Hakim, Shahih)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits sahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi. Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memuliakan para sahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para sahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para sahabat Nabi dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.
________________________________
Rujukan Sumber :
1. Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal. 84,
2. Al Quran dan Hadits
3. Kitab Al Hikmah, juz 3, 145/153.
4. Kitab Tafsir Hadist Imam Bukhari Juz 2. 322.
5. Kitab Shalihun Sholihin, Juz 1.
6. Kitab Nurul Yakin. Tafsir Abu Zahara Juz 4. 576.